Warung Nasi Tanpa Nama


Ketika duduk di meja belajar dan baca-baca buku ilmiah yang membosankan tiba-tiba terpikir sebuah kisah yang pernah ada dan sempat terlupakan. Akhirnya saya coba tuangkan dalam tulisan ini.

Beberapa tahun yang lalu ada seorang remaja yang merasa “terpaksa” membantu pekerjaan orang tuanya. Disaat kebanyakan temannya sedang gegap gempita merayakan kelulusan SMA dan sedang sibuk-sibuknya mendaftar ke universitas-unversitas favorit mereka atau menyiapkan segala sesuatunya untuk merubah status yang sebelumnya pelajar menjadi status yang bergengsi yaitu “mahasiswa” hingga kepuasan karena sudah bisa di anggap “dewasa” yang artinya berhak menentukan pilihannya sendiri, tapi seorang remaja itu masih terjebak di suatu tempat, masih harus menjalani yang bukan pilihannya, dan masih belum jelas statusnya. Di sebuah warung nasi yang berada di dalam sebuah pasar besar di kota kelahirannya, ditempat ratusan juta rupiah uang berputar dalam suatu transaksi di tiap harinya, di tempat berbagai etnis mencoba mencari rizeki dengan berjualan dan tempat berbagai macam barang mulai dari yang asli sampai yang tidak tahu asal muasalnya. Ya, remaja itu sedang di Pasar Besar, membantu orang tuanya berjualan di sebuah warung nasi.


Setiap hari ibunya memasak, mulai pagi buta sudah ke pasar untuk beli bahan dengan di antar oleh suaminya, seorang bapak yang sabar dan setia. Setiap pagi pula remaja itu membantu sebisanya menyiapkan apa yang akan di bawa ke pasar. Biasanya ibu dan barang-barang yang di perlukan di angkut naik becak ke pasar, sedangkan si remaja dan bapaknya berboncengan naik motor menuju ke pasar dahulu untuk membuka warung dan menyiapkan peralatan yang di perlukan sekaligus bersih-bersih. Tidak lama, ibu tiba di pasar. Si remaja itu selalu khawatir ketika ibu dan bapaknya menaiki ataupun menuruni tiap anak tangga yang ada di pasar ini. Terlalu curam dan jarak lantai yang pendek. Dengan membantu ibunya, si remaja membawa barang bawaan itu dan menaruhnya di warung.

Dan haripun dimulai, ibu meracik makanan, bapak menyeduh minuman, dan si remaja kebagian delivery service ke tiap orang atau toko yang memesan. Tak hanya itu si remaja juga harus bertugas tidak resmi mengambil kembali piring dan gelas yang sudah di pesan hingga melakukan transaksi di tempat, kadang ia sampai jongkok-jongkok tidak karuan untuk mengambil piring yang di selipkan di bawah kolong etalase toko. Tampak ia merasa malu saat itu, ia tidak seharusnya di rendahkan seperti ini, pikirnya. Mungkin karena sang bapak kasihan melihat anak lelakinya, beliau juga ikut membantu mengambil piring, dan ketika si remaja itu melihat bapaknya di salah satu sudut toko sampai jongkok untuk mengambil piring seperti yang tadi ia lakukan, hatinya teriris, tersayat dan panas di sekujur tubuhnya melihat orang yang di sayanginya melakukan hal itu. Ia menaikkan tempo langkahnya. Menghampiri bapaknya. Mengambil piring yang ada di genggaman bapaknya. Dan berlalu.

Di toko, si remaja berbicara ke bapaknya, “biar saya saja yang ambil piringnya…” dan bapak pun menjawab, “sudahlah… sudah biasa kok…”

Sejak saat itu si remaja berfikir keras untuk bisa membagi waktunya. Waktu untuk bisa membantu orang tuanya. Sempat terbesit untuk tidak melanjutkan ke bangku kuliah, tapi itu bukan jalan keluar. Akhirnya ia kuliah diploma yang cukup singkat hingga bisa berharap untuk segera bekerja dan bisa membantu orang tua. Di masa itu, sebelum berangkat maupun sepulang kuliah di sempatkan untuk ke warung, entah untuk ambil piring atau ambil air sampai cuci piring. Meski di hatinya masih tidak ikhlas dan tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Menahan rasa malu, mencoba tersenyum meski sering ada omongan tidak enak tentang rasa masakannya, hingga rasa jijik ketika menjumpai beberapa orang yang mempunyai cara makan di luar etika. Bapak dan ibunya mungkin sudah merasakan ketidaknyamanan itu dari pancaran wajah anak lelakinya itu. Setelah satu tahun, mereka memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak warungnya.

Si remaja sempat bertanya, “kenapa… tidak di perpanjang kontrakannya…?” dan ibu pun menjawab, “ya ndak apa-apa… sudah capek..”

Kalau sempat di pikir ulang, hidup kita ini terdiri dari beberapa bagian penting. Semuanya menjadi satu dalam sebuah kisah yang harmonis, persis seperti kisah petualangan yang ada di film. Nah… kisah diatas adalah kisah petualangan dalam salah satu bagian dari perjalanan hidup dan dengan bangga saya perkenalkan bahwa remaja itu adalah saya sendiri.

Seorang yang minder dan sempat merasa malu dengan apa yang dikerjakan kedua orang tuanya itu sekarang merasa bangga karena masih di perkenankan Tuhan mengalami babak hidup seperti itu. Secara tidak sadar itu membentuk karakter saya saat ini. Bahwa kita tidak seharusnya memandang dari sisi pekerjaan apa yang di lakukan, sepanjang itu halal maka itu harus di hargai.

Saya belajar sering mengucapkan kata “terima kasih” pada siapapun dengan pertolongan sekecil apapun karena saya percaya bahwa kata itu mampu menjadi penghargaan terbesar bagi seseorang, karena saya pun senang minta ampun ketika saya mengambil piring dan ada yang berterima kasih.

Saya pun senang memberi senyum pada pelayan rumah makan atau apapun karena mereka membutuhkannya setelah sekian banyak umpatan bahkan cacian yang di terimanya hari itu dari pembeli atau dari manajer-nya. Satu kesalahan saya adalah saya jarang memberikan senyum saya pada kedua orang tua saya pada waktu itu.

Tentang apa yang kita kerjakan, dengan siapa kita berhadapan hingga untuk apa semua itu hanyalah kita dan Tuhan yang tahu. Selama kita berbuat sebaik mungkin, Tuhan akan melindungi kita.

Menjadi pribadi yang ikhlas dalam melakukan suatu hal baik itu memang tidak mudah, tapi itu bukan tidak mungkin untuk bisa di lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar